A. KHITBAH

Khitbah atau meminang/melamar adalah proses selanjutnya setelah ikhtiyar/memilih dan ta’aruf. Dalam kitab hadits maupun fiqh disebutkan bahwa melihat dilakukan saat khitbah. Bab melihat pasangan dimasukkan ke dalam bab khitbah. Dan ketika yang dilihat tidak cocok maka secara spontan calon mempelai baik pria atau wanita dapat menolak secara langsung atau melalui perantara, seketika atau dalam beberapa hari setelah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq: “Khitbah adalah muqaddimah (permulaan) pernikahan dan disyari’atkan Allah sebelum terjadinya aqad nikah agar kedua calon pengantin mengenali calon pasangannya satu sama lain. Sehingga ketika seseorang maju pada proses aqad nikah dia dalam kondisi telah memperoleh petunjuk dan memiliki kejelasan (tentang calonnya) “.

Masalah melihat dan ta’aruf apakah saat khitbah atau sebelumnya, keduanya dapat dilaksanakan dan ini adalah masalah teknis, sehingga dapat dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan tradisi daerah, wilayah atau negara masing-masing. Untuk umat Islam di Indonesia yang cenderung pada perasaan, sulit menolak calon pasangannya setelah terjadi khitbah. Sehingga lebih baik proses melihat atau ta’aruf didahulukan sebelum proses khitbah. Begitu juga terkait dengan ta’aruf tentang akhlak, sifat dan prilaku sebaiknya sebelum khitbah. Sehingga ketika terjadi proses khitbah atau meminang, semua telah jelas dan tergambar tentang fisik dan akhlaknya.

Dalam khitbah dibolehkan saling memberi hadiah. Tetapi memberi hadiah itu bukanlah suatu yang wajib. Statusnya sama seperti memberi hadiah di waktu-waktu yang lain. Ada juga tradisi yang disebut tukar cincin. Tukar cincin, merupakan tradisi Barat yang tidak dikenal dalam Islam, dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sahabat dan salafu shalih tidak pernah melaksanakannya.

Suatu kesalahan yang sering terjadi di masyarakat, banyak diantara mereka yang menganggap bahwa ketika sudah khitbah seolah-olah sudah menikah. Sehingga kerap kali melakukan hal-hal yang dilarang agama seperti pergi berdua, bergandengan tangan atau yang lebih dari itu. Semuanya diharamkan dalam Islam dan hendaknya calon pengantin jangan merusak kesucian pernikahan dengan segala sesuatu yang di haramkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Khitbah adalah proses muqaddimah untuk menikah dan belum terjadi pernikahan. Oleh karena itu untuk menghindari kemaksiatan, dianjurkan agar jarak antara waktu khitbah dan aqad nikah tidak terlalu lama sehingga calon istri tidak berada dalam kondisi lama menanti.

B. AQAD NIKAH

Puncak proses pernikahan adalah aqad nikah. Aqad nikah inilah yang merupakan gerbang bagi kehidupan rumah tangga. Sesuatu yang sebelumnya diharamkan setelah aqad nikah menjadi halal bahkan suatu ibadah yang berpahala. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

Seseorang menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya) adalah sedekah. Sahabat bertanya:” Wahai Rasulullah, mungkinkah seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapat pahala?”. Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:” Bukankan jika disalurkan pada yang haram ia mendapat dosa? Begitulah jika disalurkan pada yang halal, maka ia dapat pahala”. (HR Muslim)

“Bertakwalah kepada Allah tentang wanita, karena engkau telah mengambilnya dengan amanat Allah dan engkau halalkan kemaluannya dengan kalimat Allah” (HR Muslim).

Aqad nikah adalah proses ijab qabul antara wali pengantin wanita dengan pengantin pria yang disaksikan oleh minimal dua orang saksi lelaki dan disertai pemberian mahar dari mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai konpensasi penghalalan atas dirinya.

Menurut pendapat yang kuat dan benar dari para ulama, aqad nikah tidak sah jika tanpa wali dan dua orang saksi lelaki, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

Dari Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:” Siapa saja wanita yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil. Jika lelaki itu menghubungi wanita tersebut maka ia harus bayar mahar, disebabkan ia telah menghalalkan kemaluannya. Dan pemimpin adalah wali bagi orang yang tidak punya wali (HR at-Tabrani dalam al-Ausath )

Dari Jabir berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:” Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi” (HR at-Tabrani dalam al-Ausath).

Oleh karena itu bagi umat Islam yang akan menikah harus mengetahui rukun dan syarat menikah dan menjauhkan diri dari bentuk-bentuk pernikahan yang dianggap syubhat (meragukan) dan tidak sah oleh mayoritas ulama sesuai dengan dalil yang kuat seperti nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, nikah mut’ah dll. Karena jika aqad nikah tidak benar maka yang dikhawatirkan terjadi telah itu adalah perzinahan dan anak yang dihasilkan adalah anak hasil perzinahan.

C. ADAB SAAT AQAD NIKAH

1. Khutbah Nikah

Dianjurkan sebelum aqad nikah dimulai, seorang ‘alim atau ustadz menyampaikan khutbah nikah yang berisi tentang nasehat pernikahan, seperti hak-hak dan kewajiban suami istri dll. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam diberi kelebihan berupa kesempurnaan kebaikan dan akhir kebaikan, beliau mengajarkan khutbah shalat dan khutbah hajatan.... Khutbah hajatan

Kemudian diteruskan dengan membaca ayat : Ali ‘Imran :102, An-Nisaa’ 1, Al-Ahzaab:70, 71 (HR Ibnu Majah).

Khutbah nikah disunnahkan penyampaiannya sebelum aqad nikah, karena secara psikologis seseorang yang akan menikah kemudian diberi nasehat pernikahan maka akan diperhatikan dengan baik dan selalu diingatnya. Tetapi manakala khutbah nikah dilakukan setelah aqad nikah, maka suasananya sudah lain dan tidak khidmat lagi. Kedua mempelai sudah sibuk dengan pikirannya masing-masing dan acara-acara lain yang akan dilaksanakan.

2. Walimah

Setelah aqad nikah dilaksanakan, dianjurkan untuk melaksanakan walimah. Walimah hukumnya sunnah muaqqadah (sangat dianjurkan). Walimah adalah memberikan hidangan makan pada resepsi pernikahan kepada para undangan, sebagaimana disebutkan hadits Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَيَّامٍ وَعَلَيْهِ وَضَرٌ مِنْ صُفْرَةٍ فَقَالَ مَهْيَمْ يَا عَبْدَالرَّحْمَنِ فَقَالَ تَزَوَّجْتُ أَنْصَارِيَّةً قَالَ فَمَا سُقْتَ إِلَيْهَا قَالَ وَزْنَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ *

Artinya: Rasulullah melihat Abdurrahman bin Auf setelah beberapa hari (tidak kelihatan) dan ada tanda-tanda kuning di tangannya. Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya:” Apa yang terjadi wahai Abdurrahman?”. Abdurrahman berkata:” saya telah nikah dengan wanita Anshar”. Rasul meneruskan:” Apa yang engkau beri padanya?” Abdurahman berkata:” Beberapa gram emas”. Rasul berkata:” Lakukanlah walimah walaupun hanya dengan satu ekor kambing” (HR Bukhari dan Muslim).

3. Terbuka

Pernikahan juga dianjurkan untuk dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan mengundang umat Islam untuk menyaksikan aqad nikah sehingga tidak menimbulkan fitnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkan pernikahan ini, lakukan aqadnya di masjid-masjid dan (hiburlah) dengan rebana (nasyid Islami)”(HR Tirmidzi dan Ahmad).

Umat Islam yang diundang untuk menyaksikan aqad nikah dan walimatul ‘urs, maka wajib hadir karena menyambut undangan adalah hak muslim atas muslim lainnya, kecuali ada halangan syar’i yang menyebabkannya tidak dapat hadir. Dan umat Islam yang hadir pada acara tersebut, tidak wajib membawa buah tangan atau kado pernikahan. Membawa kado pernikahan atau hadiah hukumnya sunnah, sehingga jangan sampai meninggalkan kewajiban (mendatangi undangan) hanya karena tidak mampu melaksanakan yang sunnah (membawa hadiah).

4. Do'a Untuk Kedua Mempelai

Disunnahkan bagi mereka yang hadir dalam resepsi aqad nikah untuk memberikan do’a bagi kebaikan kedua mempelai. Salah satu do’a yang dibacakan Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah:

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memberikan ucapan selamat dan mendo’akan pada seseorang yang menikah berkata:” Semoga Allah memberkahimu dan mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan” (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ahmad)

5. Menghindarkan Diri dari Kemubadziran yang Diharamkan Allah SWT

Pernikahan adalah ibadah sehingga harus dijauhkan dari segala sesuatu yang mubadzir dan boros, seperti berlebih-lebihan dalam pesta walimah, berlebih-lebihan dalam penggunaan aksesoris dan lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS al-Israa’ 26-27)

Lebih dari itu dalam upacara aqad nikah harus dijauhkan dari segala sesuatu yang diharamkan Allah, seperti pengantin wanita tidak menutup aurat dan tabaruj (berhias) kemudian dipajang dan dipamerkan kepada semua yang hadir baik pria atau wanita. Mengadakan tontonan, pertunjukkan dan hiburan yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti menampilkan musik dan nyanyian yang tidak Islami, mendatangkan artis-artis yang biasanya berpakaian minim dan ketat. Melakukan aqad nikah dengan upacara adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam bahkan dapat menimbulkan syirik dan bid’ah, seperti keyakinan akan adanya hari yang baik dan hari yang buruk, melakukan sesajen, nginjak telor, mandi kembang, melepas burung dll. Adapun tradisi dan kebiasaan yang baik, bersifat menghibur dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat dilakukan dalam upacara aqad nikah.

Pada saat upacara aqad nikah juga jangan sampai melalaikan kewajiban shalat, khususnya untuk kedua mempelai dan keluarganya. Karena dalam kondisi apapun kewajiban shalat tidak boleh ditinggalkan. (sumber: www.syariahonline.com)